PILPRES TAIWAN DAN TANTANGAN INDONESIA
[LPM NASIONAL]-Democratic Progressive Party atau biasa dikenal sebagai DPP, memenangkan pertarungan pemilihan presiden di Taiwan pada tanggal 13 Januari kemarin. Lai Ching-te sukses melanjutkan Tsai Ing-wen yang telah menjadi presiden di 2 periode sebelumnya dan masih berasal dari partai yang sama. Lai Ching-te mendapatkan 40,05 persen dari total suara atau sekitar 5,5 juta suara yang memilihnya, dibandingkan dengan Huo Yu-ih dari Partai Kuomintang yang mendapatkan 33,49 persen suara dan Ko Wen-je dari Taiwan People's Party mendapat 26,42 persen suara.
Melanjutkan kebijakan presiden sebelumnya, Lai Ching-te tetap akan meningkatkan pengeluaran untuk kekuatan militer dan akan tetap lebih mendekatkan Taiwan ke Amerika Serikat dibanding ke Tiongkok. Hal ini berbeda dengan 2 calon lain, yang lebih mengambil sikap terbuka untuk memperbaiki hubungan diplomatis dengan Tiongkok yang telah memanas beberapa tahun belakangan.
Dengan terpilihnya Lai Ching-te, banyak pihak yang berasumsi hubungan bilateral antara Taiwan dan Tiongkok selama 4 tahun ke depan akan membeku bahkan memburuk. Hal ini dilandaskan dari sikap Tiongkok yang tidak akan melakukan hubungan bilateral jika DPP menang dalam pemilihan presiden ini.
DPP sebagai partai pengusung Lai Ching-te telah memiliki sejarah panjang atas kebijakan mereka yang lebih mendukung Taiwan untuk independen, berdaulat, dan tidak mengakui adanya 'Kebijakan Satu Tiongkok'. Tiongkok sendiri menganggap DPP sebagai gerakan 'separatis' karena partai mereka yang tidak mengakui 'Kebijakan Satu Tiongkok', dan selama masa kampanye, banyak media yang memiliki hubungan dengan Tiongkok memberitakan bahwa jika DPP menang, maka perang akan terjadi. Hal inilah yang membuat beberapa pihak menyebut pemilihan presiden kali ini sebagai pemilihan untuk perang atau damai.
Opini lainnya: MANTAN PIDANA KORUPSI KEMBALI SEBAGAI CALON LEGISLATIF
Kebijakan Satu Tiongkok
Sejarah kebijakan ini dapat ditarik dari berakhirnya Perang Saudara Tiongkok pada tahun 1949 yang dimenangkan oleh Partai Komunis China. Pihak yang kalah, Partai Koumintang (nasionalis) mundur ke Pulau Taiwan dan menjadikan Taiwan sebagai pusat pemerintahan mereka. Tetapi, kedua belah pihak tetap mengakui bahwa seluruh daratan Tiongkok yang dikuasai Partai Komunis Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok), Pulau Taiwan yang dikuasai oleh Partai Koumintang (Republik Tiongkok), dan bekas wilayah Kekaisaran Qing tetap menjadi bagian dari Tiongkok dan hanya boleh ada satu Tiongkok, walaupun tidak ada yang mau mengalah untuk menjadi Pemerintah Tiongkok yang sah.
Awalnya lebih banyak negara yang mengakui bahwa Republik Tiongkok (Taiwan) adalah pemerintah Tiongkok yang sah. Tetapi hal ini berubah di tahun 1972, yang di mana Amerika Serikat mengakui bahwa Republik Rakyat Tiongkok adalah pemerintah yang sah, tetapi tidak mendukung Reunifikasi Taiwan dan bahkan masih melakukan hubungan secara informal dengan Taiwan. Hingga saat ini, Republik Rakyat Tiongkok menjadi pihak yang dapat memakai nama Tiongkok di kancah internasional. Ditambah lagi pada tahun 1992, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok bertemu dan mendapatkan konsesus bahwa hanya ada satu Tiongkok, tetapi tidak adanya kesepakatan pemerintahan mana yang sah atas Tiongkok. Hal-hal inilah yang membuat tidak jelasnya posisi dari Taiwan itu sendiri.
Tiongkok-Amerika Serikat
Sebagai dua negara Superpower di dunia, Tiongkok dan Amerika Serikat memiliki pengaruh yang hebat dalam geopolitik global, hal ini juga berlaku pada kasus Selat Taiwan yang di mana kedua negara ini memiliki kepentingan masing-masing. Tiongkok yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayah mereka dan Amerika Serikat menganggap Taiwan sebagai wilayah penting untuk menghalau pengaruh Tiongkok di Asia-Pasifik.
Posisi Taiwan yang strategis ditambah dengan pangkalan Amerika Serikat di negara Jepang, Korea Selatan di atas, dan Filipina di bawah dianggap seakan menjadi “pagar” Amerika Serikat untuk membatasi aktivitas dan pengaruh Tiongkok di Pasifik yang selama ini dikenal menjadi “halaman belakang” Amerika Serikat. Dengan alasan inilah, Amerika yang mengakui Republik Rakyat Tiongkok sebagai pemerintah yang sah dari Tiongkok tetap menjaga hubungannya dengan Taiwan, bahkan sampai memberikan bantuan militer secara rutin. Sehingga sikap yang dapat dibilang ambigu dari Amerika Serikat ini dapat menguntungkan kepentingan geopolitik Amerika Serikat.
Alasan lain Taiwan menjadi penting bagi Amerika Serikat ialah keberadaan Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), perusahaan semikonduktor yang memiliki 56 persen pangsa pasar pembuatan chip di dunia (dilansir dari statista.com, Top Semiconductor foundries revenue share worldwide from 2019 to 2023, by quarter). Chip yang dibuat perusahaan semikonduktor pada saat ini dapat dibilang menjadi teknologi paling penting di dunia, hampir seluruh barang elektronik mulai dari radio, Smartphone, hingga alat dan sistem militer membutuhkan chip sebagai otak dari barang elektronik itu. Dengan seberapa penting chip ini untuk militer dan barang elektronik lain, maka tidak mengherankan Amerika Serikat bahkan Tiongkok mengincar Taiwan untuk mengontrol arus pembuatan teknologi ini.
Taiwan juga menjadi titik penting bagi Tiongkok, dengan bersatunya Taiwan ke dalam Tiongkok, maka Tiongkok dapat membuka pintu untuk masuk ke kawasan Pasifik dan berhadapan langsung dengan Amerika Serikat. Reunifikasi Taiwan ke dalam Tiongkok juga menjadi isu penting dalam legitimasi Partai Komunis Tiongkok sebagai pemerintahan yang sah dari seluruh wilayah Tiongkok, termasuk Pulau Taiwan. Tiongkok telah sukses dalam menyatukan Hongkong dan Makau yang telah lama dikontrol oleh Inggris dan Portugis, dari yang tersisa untuk melegitimasi Pemerintahan Tiongkok ialah Taiwan yang masih membuat pemerintahannya sendiri.
Kunjungan Ketua Parlemen Amerika Serikat, Nancy Pelosi ke Taiwan pada tanggal 2 Agustus tahun 2022, memperburuk keadaan di Selat Taiwan. Kedatangan Nancy Pelosi ini dianggap Tiongkok sebagai provokasi, karena Amerika Serikat tidak menghormati kebijakan satu Tiongkok. Beberapa hari setelah kunjungan itu, Tiongkok membalas dengan melakukan latihan-latihan militer di dekat hingga memasuki wilayah Taiwan dan diikuti dengan beberapa barang ekspor Taiwan dilarang masuk ke Tiongkok. Dilansir dari CNN Indonesia, pernyataan Kementrian Luar Negeri Tiongkok perihal kunjungan ini berbunyi “AS terus-menerus mendistorsi, mengaburkan, dan melanggar kebijakan satu Tiongkok. Gerakan ini seperti bermain api, sangat berbahaya. Mereka yang bermain api akan bisa karenanya”
Tantangan Indonesia
Jika kondisi Selat Taiwan semakin memburuk kedepannya, maka akan berbeda dengan konflik yang terjadi, seperti di Eropa Timur dan Timur Tengah. Konflik ini dapat terjadi di dekat wilayah Indonesia. Secara regional, ketegangan di Selat Taiwan dapat meningkatkan ketidakstabilan di Asia-Pasifik secara keseluruhan. Potensi eskalasi konflik dapat memicu perubahan dinamika kekuatan di kawasan, yang dapat berdampak pada keseimbangan geopolitik dan keamanan regional.
Di tingkat ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), negara-negara anggota mungkin menghadapi tekanan yang lebih besar untuk menjaga perdamaian dan koordinasi di tengah ketidakpastian. Forum ASEAN dapat menjadi platform penting untuk membahas isu-isu terkait dan merumuskan posisi bersama terhadap perkembangan di Selat Taiwan. Indonesia, sebagai negara pemimpin di ASEAN, harus memainkan peran aktif dalam memfasilitasi dialog dan menjaga kesatuan regional.
Dari segi ekonomi, Indonesia dapat menghadapi ketidakpastian perdagangan dan investasi, karena Tiongkok dan Taiwan adalah mitra ekonomi utama. Perubahan dinamika keamanan di Asia-Pasifik juga dapat membawa implikasi langsung terhadap keamanan dan stabilitas di wilayah Indonesia (Natuna). Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu membangun kapasitas diplomatik yang kuat untuk menjaga kepentingan nasional dalam tindakan kolaboratif dengan negara-negara tetangga dan mitra strategis.
Melalui pendekatan politik bebas aktif, Indonesia dapat menjaga keseimbangan dan menghindari disetir oleh pihak luar. Koordinasi antara aspek diplomatis dan ekonomi akan menjadi kunci, dengan fokus pada penguatan kerjasama regional dan memastikan bahwa strategi diplomatis dapat memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.
Ketidakjelasan perihal kondisi di Selat Taiwan inilah yang harus dikaji dan diperhatikan betul-betul oleh pemerintah Indonesia mendatang, mengingat tinggal sebulan lagi akan diadakan Pemilihan Presiden Indonesia yang baru. Siapa pun calon yang terpilih nantinya, maka harus melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan kepentingan dan keinginan rakyat Indonesia.
Penulis: Syarif
Editor: Malik
MUNGKIN KAMU SUKA
Tanggapi Aksi Demonstrasi, Dekan FISIP Ingatkan Untuk Tabayyun
Saat ini ada hal yang menjadi persoalan bagi mahasiswa, mulai dari ditandai dengan adanya aksi demonstrasi berskala nasional hingga aksi demonstrasi yang terjadi di lingkungan…
Penutupan Dies Natalis, FISIP Adakan Acara Bersama Keluarga Besar
Setelah diselenggarkan selama tiga hari, acara Ramah Tamah Keluarga Besar FISIP yang di selenggarakan di Swiss Belhotel pada Selasa, 24 Mei 2022, pukul 19:00 WITA…
TRADISI INTIMIDASI YANG HARUS DIHENTIKAN
Pengkaderan di tiap-tiap lembaga Fakultas khususnya di Universitas Tadulako (UNTAD) yang masih melibatkan perpeloncoan patut dicermati dengan seksama. Praktik ini tidak hanya bertentangan…