SKAYA & LANGIT

SKAYA DAN LANGIT
Aku dan Skaya telah berteman sejak kecil. Mungkin karena waktu pertemanan kami yang telah berlangsung dalam waktu yang lama, kami memiliki hubungan yang lebih erat dibanding teman dan ikatan yang lebih kental melebihi darah. Orang-orang selalu berkata tentang betapa uniknya pertemanan kami. Skaya yang gemar menebar senyum dengan mulut yang enggan untuk diam barang hanya sedetik, dan aku yang minim ekspresi dengan mulut yang selalu terkatup rapat. Sebagian besar orang mungkin memang memandang pertemanan antara sosok yang ceria dengan seseorang yang pemuram merupakan suatu fenomena yang unik, tepat seperti bagaimana sebagian orang memandang pertemananku dengan Skaya. Dan diam-diam, tanpa memberitahunya kepada siapa pun, aku sering kali mendapati diriku setuju akan hal tersebut. Kadang kala aku juga akan terpikir tentang bagaimana seseorang dengan sifat berbanding terbalik seperti kami bisa berakhir menjadi teman akrab.
Tapi, itu bukanlah hal yang penting untuk dipikirkan. Meskipun terkadang aku merasa terpukau dan bertanya-tanya tentang pertemanan kami yang unik, pada akhirnya aku hanya akan mengakhiri pertanyaan di kepalaku dengan hendikkan bahu acuh, memilih untuk melewatkannya ketimbang harus memeras otakku untuk menemukan sebuah jawaban.
Entah sifat kami berkontradiksi atau tidak, entah pertemanan ini unik atau tidak, itu bukanlah masalah. Nyatanya meskipun dengan sifat yang bertolak belakang, aku dan Skaya tetap berteman baik dan akur. Kami masih memiliki kecocokan dan sedikit persamaan di tengah banyaknya perbedaan yang kami miliki. Selalu ada acara bagi kami untuk bisa saling memahami satu sama lain, meskipun dengan sifat kami yang bertolak belakang. Mungkin itulah alasan mengapa aku bisa berteman baik dengannya dalam waktu yang sangat lama.
“Aidaa!” Aku menghentikan langkahku, ketika mendengar namaku dipanggil. Aku menoleh ke belakang dan sesuai dengan dugaanku, suara cempreng itu adalah milik Skaya yang saat ini sedang berlari ke arahku, lengkap dengan senyum lebar yang selalu menghiasi wajahnya. Aku mendengus pelan, ketika ia dengan brutal merangkul pundakku.
“Selamat pagi!” Ucapnya dengan penuh semangat.
“Pagi.” Jawabku seadanya. Wajahnya yang semula cerah dengan senyuman mendadak berubah mendung dengan raut cemberut menghiasi wajahnya. Dari rautnya yang kusut tak seperti biasanya, aku bisa tau bahwa ia merasa tidak begitu puas dengan caraku membalas sapaan paginya.
“Gak semangat banget! Kau sakit atau gimana?!” Tanyanya dengan heboh.
“Aku selalu begini, kalau kau lupa.” Skaya menjadi semakin cemberut mendengar jawabanku, sadar bahwa ia tidak bisa membantah sama sekali, karena apa yang ku katakan memang fakta.
“Seneng banget jadi ansos. Semangat dikit kek.”
“Malas, capek. Aku lebih suka hemat tenaga.”
“Tapi kau itu sudah kelewatan, nolep banget, sudah bukan hemat energi lagi.”
“Ya suka-suka aku? Toh yang penting tidak merugikan siapapun juga.” Skaya memijat pelipisnya, tampak pusing menghadapi diriku yang keras kepala. Diam-diam aku merasa sedikit tidak enak. Aku memahami maksudnya dan perhatiannya pada diriku yang anti-sosial, tampak jelas dari bagaimana ia selalu berusaha mendorongku untuk lebih rajin bergaul dengan lebih banyak orang atau bagaimana dia selalu mendorongku untuk menjalani hari dengan lebih semangat. Namun, meskipun aku memahami kekhawatiran dan menghargai perhatiannya, aku dan sifatku yang keras kepala tidak bisa memenuhi keinginan kecil Skaya terhadap diriku.
“Kamu memang keras kepala. Ya Sudahlah, terserah kau saja.” Dan seperti biasa, Skaya akan mengakhiri usahanya di hari itu dengan senyuman di wajahnya, seolah-olah anti-sosial dan keras kepalaku tak pernah jadi masalah baginya. Namun, meskipun ia mengakhiri usahanya di hari ini, bukan berarti bahwa ia akan menyerah dan berhenti melakukan hal yang serupa di hari selanjutnya. Meskipun dia sering tampak seperti sosok yang pengertian, Skaya juga seorang yang keras kepala dan pantang menyerah.
“Tapi, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat cerita ke aku, ya.” Aku hanya mengangguk paham. Ini bukan sekali atau dua kali dia akan mengatakan hal itu padaku. Mungkin, kalau di ingat baik-baik, aku tidak pernah menjalani satu hari pun tanpa Skaya dan tawarannya yang ingin menjadi tempat curhat untukku. Yang membuatku heran adalah, apakah dia tidak pernah berpikir bahwa aku tidak memiliki hubungan yang cukup akrab dengan teman-teman yang lain? Aku juga tidak memiliki hubungan yang begitu dekat dengan keluargaku. Sehingga otomatis, dia akan selalu menjadi tempat pertama bagiku untuk berbagi cerita.
“Selamat pagi, Skaya!”
“Ah, Mauren, selamat pagi!”
Dan begitulah, di sepanjang perjalanan kami menuju kelas, akan selalu ada orang-orang yang akan menyapa Skaya dengan riang dan kemudian di balas oleh anak perempuan itu dengan respon yang tak kalah riangnya. Skaya memang seceria itu.
Sky untuk Skaya. Namanya diambil dari Bahasa Inggris “Sky” yang memiliki arti “Langit”. Nama itu adalah pemberian ayahnya—satu-satunya hal yang paling ia sukai dari ayahnya. Sederhana, tapi makna yang terselip di dalamnya tidak sederhana seperti apa yang terlihat. Namanya mengambil rujukan pada langit biru cerah di musim panas. Dan sama halnya seperti langit yang akan selalu indah dalam kondisi apapun, orang tuanya menyimpan harapan pada namanya, agar ia selalu tumbuh dengan baik, tidak peduli bagaimanapun dinamika kehidupan yang terjadi dalam hidupnya. Dan sama seperti langit, Skaya tumbuh menjadi sosok yang cerah, menyenangkan seperti langit biru cerah di musim panas dan mampu untuk menjalani hidupnnya dengan bijak, tak peduli apapun rintangan yang di hadapinya.
Ceria, menyenangkan, bijak, dan baik. Orang-orang termasuk diriku memandangnya seperti itu. Dikelilingi oleh orang-orang baik yang peduli padanya dan wajah yang selalu dihiasi dengan senyuman lebar. Dengan kehidupan semanis itu, siapa pun tidak akan berpikir bahwa ia sedang atau pernah dirundung masalah seperti orang-orang kebanyakan yang tampak memiliki begitu banyak beban masalah yang membawa mereka pada stress dan depresi. Skaya adalah anak yang bahagia, semua orang mengetahui itu dan semua orang setuju akan hal itu dengan perangai cerianya sebagai buktinya. Meskipun kadang aku mendambakan kehidupan yang serupa dengan miliknya, aku tetap bersyukur memikirkan fakta bahwa Skaya memiliki kehidupan yang baik dan bahagia sehingga dengan begitu, aku tidak perlu khawatir tentang keadaannya. Dia baik-baik saja, itu adalah faktanya.
“Hari ini sangat cerah ya, Ai.” Aku mengikuti arah pandang Skaya, ketika ia menyeletuk dengan suaranya yang ringan dan riang. Kepalanya mendongak ke atas, ia menatap ke arah langit dengan penuh rasa kagum yang terukir jelas di wajahnya. Di bawah langit biru yang cerah, senyumnya tampak begitu lebar, tetapi lembut. Matanya lebih berbinar dari biasanya, seolah mengungkapkan rasa cinta dan dambaannya pada suatu hal tanpa satu kata pun terucap. Ketika aku memikirkannya kembali, Skaya selalu memasang wajah seperti itu tiap kali menatap ke arah langit dan kemudian dari wajahnya yang berseri, aku bisa menyimpulkan seberapa suka nya ia pada langit.
“Iya, sangat cerah, tapi hari ini juga sedikit panas.” Aku menyeletuk jujur sembari menggigit es batangan yang kubeli di kantin sekolah bersama Skaya beberapa saat yang lalu. Saat ini kami memutuskan untuk menghabiskan istirahat makan siang bersama di gazebo taman sekolah—ini adalah ide Skaya yang beralasan ingin menikmati makan siangnya sembari mengagumi langit yang tampak cerah hari ini. Aku hanya mengiyakan keinginannya, karena ku pikir di mana pun tidak masalah, asalkan aku bisa menikmati makan siang dengan tenang.
“Sedikit panas, tapi langitnya cantik, kan?”
“Biasa saja, sama seperti biasanya.”
“Wah, seleramu benar-benar jelek, ya. Padahal langitnya cantik, loh.” Kata-katanya mengejek, tapi aku tau itu hanya candaannya saja. Skaya dan pribadinya yang usil, semua orang sangat mengetahui itu.
“Masa bodo, aku bukan maniak langit sepertimu.” Detik selanjutnya aku langsung dibuat meringis pelan, ketika Skaya—untuk mengungkapkan kekesalannya—menyikut perutku dengan pelan. Tidak sakit, karena anak itu memang tidak memiliki niatan untuk menyakitiku. Tapi siapa yang tidak akan terkejut jika ia menyerang secara mendadak seperti itu?
“Kasar banget.” Skaya tergelak pelan sebelum membalas sahutanku, “Tidak kuat, kok.” Aku hanya bisa mendengus dan memutuskan mengalah untuk yang kesekian kalinya. Mengalah adalah keputusan bijak jika lawannya adalah Skaya. Seperti menghadapi anak kecil, aku hanya akan dibuat kewalahan sendiri, tidak peduli entah aku benar atau salah.
“Tapi serius loh, langitnya cantik, Ai. Aku jadi pengen terbang, terus menyatu sama langit. Sisa butuh sayap saja ini sih.”
“Iya deh, semoga halu mu jadi nyata, ya. Walaupun aku juga tidak tau gimana caranya orang bisa punya sayap.” Ucapku cuek.
“Ih, aku serius, loh!”
“Aku juga serius, kok.” Skaya menatapku sembari memasang wajah cemberutnya selama beberapa saat, sebelum perhatiannya kembali pada langit yang selalu menjadi pemandangan favoritenya sepanjang masa.
“Aku tidak berharap punya sayap. Mungkin lebih seperti, aku pengen bisa keliling-keliling di langit, atau jadi bagian dari langit itu sendiri.” Aku ingin kembali mengomentarinya dengan kalimat menusuk, seperti yang biasa kami lontarkan kepada satu sama lain ketika sedang bercanda. Tetapi sorot matanya yang lembut dan sendu selama beberapa saat, ketika ia mengutarakan harapan liarnya membuatku mempertimbangkan kembali keputusanku.
“Tapi kalau mau keliling-keliling di langit, bukannya kita butuh sayap, ya?” Skaya menatapku. Senyum yang ia tunjukkan padaku setelahnya tampak lebar dan cerah.
“Tidak ada sayap juga tetap bisa, kok! Kita bisa main-main di langit walaupun tidak ada sayap. Aku juga bisa. Nanti, tidak tau kapan, tapi suatu saat nanti, aku bakal ada di sana. Aku bakal main-main, keliling-keliling di langit, jadi bagian dari langit itu sendiri.”
Aku hanya bisa terdiam di tempat. Lagi-lagi, aku merasa kehabisan kata-kata untuk berkomentar. Skaya yang menyatakan keinginannya dengan lantang sembari menunjuk langit dengan sorot mata penuh tekad tampak begitu meyakinkan. Aku tidak tau mengapa ia bisa mengatakan hal-hal konyol dengan seyakin itu. Seolah-olah apa yang ia nyatakan sambil menatap langit saat itu adalah sesuatu yang akan menjadi kenyataan dalam waktu yang akan datang. Tapi jika hal itu membuatnya senang, maka aku hanya akan memilih untuk diam, tak peduli sekonyol dan semenggelikan apa hal itu di telingaku.
“Nanti saja main di langitnya, sekarang makan dulu, jam istirahat sudah mau habis.” Skaya menanggapiku dengan kekehan polosnya. Percakapan itu berakhir dengan kami berdua yang mulai fokus pada makan siang kami masing-masing.
Ya, percakapan itu seharusnya sudah usai. Satu-satunya yang belum usai adalah perasaan ganjal yang ku dapati ketika Skaya berbicara mengenai angan-angan liarnya. Untuk sebuah alasan yang tidak ku pahami, untuk pertama kalinya aku mengkhawatirkan keadaan dari temanku yang periang dan bahagia. Seolah-olah ada sesuatu yang lebih dari pernyataannya kala itu, sesuatu yang tersembunyi, yang ingin dan tak ingin ia ungkapkan di saat bersamaan. Untuk sejenak, aku bertanya-tanya tentang hal apa yang sukses membuat seorang Skaya untuk berada dalam kebimbangan rumit seperti itu. Ketika aku menyadari bahwa aku mulai overthinking, aku memutuskan untuk menghentikan pemikiran konyol apapun yang melayang di kepalaku sembari kembali meyakinkan diri bahwa Skaya baik-baik saja. Ia akan dan selalu baik-baik saja, sama seperti hari-hari yang telah berlalu hingga saat ini.
Dalam dua minggu kemudian, di akhir pekan, aku menerima pesan chat dari Skaya.
‘Datanglah ke kostku dan aku akan menunjukkan padamu tentang diriku yang menjadi bagian dari langit. Aku serius.’ Itu adalah apa yang ia katakan dalam pesannya. Meskipun kata-katanya saat itu terasa sangat konyol, entah mengapa aku merasa ada yang berbeda dari pesan konyol yang dia kirimkan padaku beberapa saat yang lalu. Itulah yang kemudian membuatku tergerak untuk menuruti keinginannya tanpa komentar.
Saat di mana aku berada di kostnya dan masuk ke kamarnya, itu adalah saat dimana aku akhirnya menyadari segalanya. Semuanya menjadi jelas, kecintaan gilanya pada langit, tatapan dan senyumnya yang kadang berubah sendu, dan angan-angan liarnya. Aku akhirnya memahami semuanya.
Aku membenci kostnya yang senyap dan sunyi. Tidak ada suara apapun, kecuali suara detak jam yang terpasang apik pada salah satu dinding di kamarnya. Namun, apa yang paling ku benci adalah pemandangan dimana tubuh Skaya kaku tak berdaya dengan tali yang terhubung dengan lehernya. Sepucuk surat yang ditulis menggunakan kertas berwarna biru yang penuh akan dekorasi menggemaskan tergeletak di atas meja belajarnya. Bahkan tanpa membukanya, aku sudah bisa menebak kepada siapa surat itu akan ia beri dan apa isinya. Aku tidak mengerti kenapa ia menggunakan kertas seindah itu untuk menyampaikan sesuatu yang jauh dari kata indah.
Jika waktu bisa diulang kembali, maka aku ingin kembali berada pada hari dimana kami berbagi cerita dan tawa, hari dimana aku bisa melihatnya tersenyum dan tertawa dengan begitu lepas atau saat dimana aku bisa melihat tingkah usilnya dan mendengar semua ocehan konyolnya. Aku ingin kembali pada saat ketika ia mengutarakan angan-angan konyolnya. Jika aku bisa kembali pada masa itu, aku ingin menggenggam tangannya dan bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” untuk yang pertama kalinya. Dan ketika pertanyaan itu ku ucapkan, ku harap dia tidak akan berbohong sehingga aku bisa meyakinkannya bahwa memijakkan kaki di atas tanah hingga waktunya habis jauh lebih baik ketimbang memaksakan diri untuk menjadi bagian dari langit melalui cara yang nekat.
Seketika, aku merasakan tubuhku seolah tak bertulang. Tak bisa lagi menopang beban tubuhku, aku tersungkur sebelum aku bisa menahannya. Kondisi di mana aku tidak bisa berteriak meskipun aku ingin, benar-benar merupakan kondisi yang sangat ku benci, rasanya menyiksa. Tangisanku sore itu adalah satu-satunya ungkapan kesedihanku. Tapi ku pikir itu tidak cukup. Agoni dan hampa yang kurasakan di dalam diriku lebih besar untuk diungkapkan hanya dengan tangisan saja.
Skaya ku ternyata adalah seorang pembohong. Dengan lihainya membohongi semua orang dengan senyumannya bahkan termasuk diriku yang selalu ada di sampingnya sejak kecil. Ini pertama kalinya dia memilih keputusan yang sangat tidak bijak dalam hidupnya dan aku merasa sangat sakit untuk memikirkan betapa bodohnya teman kesayanganku itu.
“Skaya bodoh, selamat jalan.” Aku tidak tau apakah perjalananmu akan baik-baik saja atau tidak, mengingat bahwa kau telah memilih rute yang salah untuk mengawali perjalananmu. Tapi, sebagai orang yang sangat menyayangimu, aku akan selalu mendoakanmu.
Yang tersayang, Aida
Aku pernah bilang padamu bahwa suatu saat aku akan menjadi bagian dari langit. Tidak lama lagi aku akan menunjukkannya padamu. Aida, aku akan pergi, bermain, berkeliling, dan menjadi bagian dari langit, tepat seperti apa yang ku katakan. Aku akan memulai perjalanan yang sangat jauh tanpa ada pilihan untuk kembali. Aku tidak akan bisa bertemu dan mengusilimu lagi. Sayang sekali, ya. Aku telah memilih rute yang salah, karena itu kumohon padamu untuk tidak mengikutiku dalam perjalanan ini dan tetap menjalani hidup dengan baik.
Kau pasti terkejut dan semua orang mungkin memandangku sebagai orang yang tidak bersyukur. Aku memiliki banyak orang yang peduli padaku dan keluarga yang menyayangiku. Aku selalu tertawa seolah hidup tak pernah menjadi masalah. Aku mensyukuri semuanya. Orang-orang baik yang datang dalam hidupku, keluargaku yang penyayang meskipun tidak lagi utuh, dan teman baik sepertimu. Tapi Ai, aku tidak bisa menahannya lagi. Selalu ada celah dari sesuatu yang tampak sempurna. Dibalik hidupku yang tampak ideal, aku memiliki sesuatu yang tidak bisa ku ungkapkan pada siapapun, tidak pula pada diriku sendiri. Aku tidak mengalami kejadian buruk, tapi apa yang terjadi dalam diriku sudah cukup buruk sehingga aku tidak akan pernah bisa mengungkapkannya dalam kata-kata.
Tidak, kata-kata tidak akan pernah cukup dan tidak akan pernah bisa mengungkapkan apa yang ku rasa. Aku minta maaf, karena aku tidak cukup kuat untuk bertahan, juga karena aku tidak bisa menjadi seperti langit yang akan selalu indah bagaimanapun kondisinya. Maaf, karena aku melepaskan hidup yang selalu kau dambakan. Aku pergi, aku akan menjadi bagian dari langit, maka teruslah lihat dan temukan aku disana. Sampai jumpa untuk waktu yang tidak akan pernah kita ketahui. Untuk segalanya, terimakasih.
Dengan tulus,
Skaya Orion, Fin SoraIro
Penulis: Izzah
MUNGKIN KAMU SUKA
AKSI KAMISAN PALU: KRITIK TERHADAP RUU MINERBA DAN TRANSPARANSI PROYEK TAMAN UNTAD
LPM NASIONAL FISIP 4 bulan yang lalu
PENTINGNYA EDUKASI KESEHATAN MENTAL BAGI MAHASISWA
[LPM NASIONAL] - Meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa menjadi tamparan keras terhadap kampus-kampus yang ada. Pihak kampus gagal memberikan pemahaman mengenai…
JEJAK LANGKAH IBU DI BALIK PENA
LPM NASIONAL FISIP 5 bulan yang lalu