SEKSISME DALAM KAMPANYE PEMILU 2024 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN

Pemilu 2024 akhirnya dinyatakan selesai, Indonesia menyaksikan maraknya kampanye dari calon kepala daerah di berbagai wilayah. Namun, di tengah semangat demokrasi, ada sisi gelap yang kerap terabaikan yaitu seksisme yang terus berkembang dalam arena politik. Sikap seksis, baik secara langsung maupun tidak langsung, seringkali muncul dalam bentuk pernyataan atau perilaku yang merendahkan perempuan, dan hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat banyaknya calon yang belum sepenuhnya menyadari dampak dari sikap tersebut. Seksisme yang terus berkembang dalam kampanye politik, terutama dalam konteks Pemilu 2024, tidak hanya merusak integritas proses demokrasi, tetapi juga berpotensi memperburuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida.
Seksisme dalam kampanye politik bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar calon kepala daerah yang merendahkan perempuan dalam pidato atau pernyataan publik mereka. Misalnya, pernyataan yang menganggap perempuan hanya sebagai pelengkap dalam struktur politik atau membatasi peran perempuan pada isu-isu tertentu yang dianggap "lebih cocok" untuk mereka—seperti isu rumah tangga atau keluarga. Bahkan dalam beberapa kasus, calon-calon tersebut menggunakan bahasa yang menghina atau mengejek perempuan, menciptakan stereotip yang memperburuk ketidaksetaraan gender.
Seksisme semacam ini bukan hanya sekadar masalah etika dalam politik, tetapi juga berhubungan erat dengan kekerasan terhadap perempuan. Ketika pemimpin atau calon pemimpin menggambarkan perempuan dalam bentuk yang merendahkan atau membatasi hak mereka, pesan yang disampaikan adalah bahwa perempuan tidak memiliki tempat yang setara dengan laki-laki dalam kehidupan publik maupun politik. Hal ini memperkuat budaya patriarki yang menjadi akar dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan fisik dan psikologis, serta yang paling ekstrem—femisida.
Femisida, atau pembunuhan perempuan karena gender mereka, sering kali dipicu oleh norma sosial yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dalam struktur sosial dan politik. Ketika para calon kepala daerah menggunakan bahasa atau pendekatan seksis dalam kampanye mereka, hal ini memberi legitimasi pada pemikiran bahwa perempuan adalah objek yang bisa diperlakukan semena-mena, bukan individu dengan hak dan martabat yang setara. Ini menciptakan lingkungan yang lebih berisiko bagi perempuan, di mana kekerasan terhadap mereka dianggap "biasa" atau bahkan dapat diterima.
Di beberapa daerah, kita bahkan bisa melihat calon kepala daerah yang secara langsung mengekspresikan pandangan seksis mereka melalui tindakan dan ucapan. Misalnya, penggunaan candaan atau sindiran yang merendahkan perempuan dalam debat publik atau saat menyampaikan visi misi mereka. Ketika hal-hal seperti ini terjadi di ruang publik, efeknya jauh lebih luas daripada sekadar satu kampanye atau satu calon. Hal ini memperparah ketidaksetaraan gender yang sudah ada, dan mengaburkan nilai-nilai keadilan sosial yang seharusnya mendasari setiap proses demokrasi.
Penting untuk dicatat bahwa seksisme dalam kampanye politik juga menciptakan penghalang bagi perempuan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam politik. Ketika ruang publik dipenuhi dengan bahasa yang seksis, perempuan yang ingin berkarir dalam politik atau menjadi bagian dari pemerintahan akan merasa terpinggirkan dan tidak dihargai. Ini bukan hanya menghalangi kemajuan politik perempuan, tetapi juga menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri, karena kita kehilangan perspektif penting yang hanya bisa diberikan oleh perwakilan perempuan.
Pada 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini, kita perlu lebih dari sekadar menyuarakan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga harus mendalami akar penyebabnya. Seksisme dalam kampanye politik adalah salah satu akar masalah yang mengarah pada kekerasan berbasis gender, termasuk femisida. Untuk menciptakan perubahan yang berarti, kita perlu mendorong calon pemimpin di Pemilu 2024 untuk berhenti menggunakan retorika seksis yang tidak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga merusak integritas demokrasi itu sendiri.
Seksisme dalam kampanye politik adalah tanda ketidakdewasaan dalam menjalankan demokrasi. Demokrasi yang sejati haruslah menjunjung tinggi kesetaraan dan menghormati setiap individu, tanpa melihat gender. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat juga harus semakin kritis terhadap perilaku seksis ini, dan mendesak calon kepala daerah untuk lebih bijaksana dalam berkampanye, dengan menghormati martabat perempuan dan memastikan bahwa kampanye politik tidak menjadi ajang reproduksi ketidaksetaraan gender.
Kita tak bisa lagi membiarkan seksisme terus mengalir di ruang-ruang publik, karena setiap kata yang diucapkan dan setiap tindakan yang dipilih akan membawa dampak jangka panjang. Untuk melawan kekerasan terhadap perempuan, kita perlu mulai dengan mengatasi seksisme dalam politik. Jika kita benar-benar ingin mewujudkan perubahan, maka perempuan harus menjadi bagian yang setara dalam setiap ruang—termasuk dalam ruang politik.
Penulis: Ash Lynx
MUNGKIN KAMU SUKA
POLITIK DINASTI: WARISAN TAK TERNILAI DI NEGERI DEMOKRASI?
Eh, ngomongin politik, rasanya kayak lagi ngobrolin drama sinetron aja ya? Drama yang penuh intrik, penuh konflik, dan penuh dengan.......keluarga?. Yups, kita lagi…
Aksi Seribu Lilin Mengenang 1 Tahun Korban PT. Trio Kencana Oleh Aliansi Rakyat Bersatu
LPM NASIONAL FISIP 2 tahun yang lalu
Mahasiswa Dan Masyarakat Kota Palu Kembali Tolak Kenaikan Harga BBM
Mahasiswa dan masyarakat Kota Palu kembali melakukan aksi tolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Selasa, 27 September 2022 di depan Gedung DPRD Sulawesi…