SATU ABAD PRAMOEDYA ANANTA TOER: SUARA YANG TAK PERNAH PADAM

LPM NASIONAL FISIP - OPINI
SATU ABAD PRAMOEDYA ANANTA TOER: SUARA YANG TAK PERNAH PADAM

6 Februari 1925, tepat 100 tahun yang lalu, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia: Pramoedya Ananta Toer. Nama yang kini tak hanya sekadar deretan huruf, tetapi juga simbol perlawanan, keteguhan, dan keberanian dalam menyuarakan kebenaran.

 

Pramoedya lahir di Blora, Jawa Tengah, dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru dan ibu yang penuh kasih. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan dunia literasi. Buku-buku menjadi teman setianya, dan dari sanalah tumbuh kecintaan pada tulisan yang kelak mengantarkannya pada perjuangan yang panjang dan berliku.

 

Ketika revolusi kemerdekaan berkobar, Pramoedya turut ambil bagian. Namun, alih-alih mengangkat senjata, ia memilih menyalakan api perjuangan melalui kata-kata. Tulisannya menggugah, menggetarkan, dan sering kali mengguncang para penguasa. Salah satu karyanya yang paling dikenal, tetralogi Bumi Manusia, menjadi saksi bagaimana ia tak pernah berhenti menggali sejarah bangsanya dan mengisahkan penderitaan rakyat kecil dalam perjuangan mereka menghadapi kolonialisme.

 

Namun, perjuangan lewat kata-kata tidak selalu mudah. Penguasa silih berganti, tetapi satu hal yang tetap: Pramoedya dianggap ancaman. Pada era Orde Lama, ia sempat dipenjara oleh Belanda. Namun, cobaan terbesarnya datang saat Orde Baru berkuasa. Tuduhan tanpa bukti menyeretnya ke Pulau Buru, tempat ia mendekam selama 14 tahun tanpa proses peradilan yang jelas. Di sana, dalam keterbatasan dan penderitaan, ia tetap menulis, menyusun kisah-kisah besar dengan ingatan sebagai pena dan keberanian sebagai tinta.

 

Pasca reformasi, meski bebas dari belenggu fisik, karyanya masih sering mendapat pembatasan. Namun, semangatnya tak pernah padam. Ia terus berkarya, berbicara, dan mengingatkan bangsa ini akan pentingnya mengenali sejarahnya sendiri. Penghargaan demi penghargaan datang dari luar negeri, tetapi di tanah airnya sendiri, ia tetap sosok yang kontroversial.

 

Kini, satu abad telah berlalu sejak kelahirannya. Namun, kata-katanya masih hidup, terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam dunia yang terus berubah, suara Pramoedya tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa perjuangan bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi juga mempertahankan kebenaran di atas kertas. Bahwa kata-kata dapat menjadi senjata paling tajam dalam menentang ketidakadilan.

 

Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar merayakan kelahiran seorang sastrawan, tetapi juga meneruskan api yang telah ia nyalakan. Ia telah pergi, tetapi karyanya akan selalu hidup, menginspirasi, dan mengingatkan kita bahwa suara yang memperjuangkan kebenaran tak akan pernah benar-benar padam

 

Penulis: Andika Nur Hikmah

LPM NASIONAL FISIP - OPINI Kamis, 6 Feb 2025 - 11:03 pm

MUNGKIN KAMU SUKA

HARAPAN BARU UNTUK PERS MAHASISWA INDONESIA

Pers Mahasiswa (Persma) di Indonesia sering terjebak dalam ketakutan dan dilema. Meskipun telah berpegang pada standar dan kode etik jurnalistik, intervensi dari pihak…

LPM NASIONAL FISIP 1 tahun yang lalu
HARI HAM 2024: SAATNYA INDONESIA TUNTAS MENUNTUT KEADILAN DAN MEMPERBAIKI REKAM JEJAK PELANGGARAN

Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diperingati setiap 10 Desember seharusnya bukan sekadar seremoni atau rutinitas tahunan yang lewat begitu saja. Ini adalah momen yang…

LPM NASIONAL FISIP 10 bulan yang lalu
KEBERHASILAN TIM FISIP UNTAD DALAM DEBAT DI UIN EXPO 4.0

Tim Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Tadulako (UNTAD) berhasil meraih juara 1 dalam kompetisi debat yang berlangsung pada 18-19 Oktober…

LPM NASIONAL FISIP 11 bulan yang lalu