KEBEBASAN BEREKSPRESI DIBUNGKAM: ANCAMAN BAGI DEMOKRASI
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi di negara kita ini. Ia menyediakan forum bagi suatu individu atau kelompok untuk menyampaikan pendapatnya, termasuk kritik terhadap pemerintah. Namun, bagaimana jika kebebasan itu dibungkam, contohnya seperti ketika sebuah pameran seni berupa lukisan yang dibatalkan dikarenakan seorang seniman yang karya-karyanya bisa dibilang mengkritik pemerintah. Kita bisa melihat sendiri bahwa nilai-nilai demokrasi di negara kita ini perlahan-lahan mulai terkikis.
Seni dalam konteks ini sering kali menjadi media komunikasi yang efektif. Hal tersebut bisa menjadi wadah bagi para seniman untuk mengekspresikan kritik terhadap ide-ide sosial dan politik. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa seni memiliki kekuatan untuk memulai dialog mengenai isu-isu penting, menantang status, dan menginspirasi perubahan.
Pembatalan pameran seni lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional ini menjadi salah satu contoh yang dinilai telah mengkritik seorang mantan presiden. Ini menggambarkan akan ketidakmampuan atau keengganan dari pihak yang berwenang untuk menerima kritik. Hal ini juga menunjukkan adanya upaya untuk membungkam suara-suara yang terkesan bertentangan dengan narasi resmi.
“Tidak etis menurutku kalau dipikir objek lukisan yang mau dipamerkan itu, kan mantan presiden. Berarti kuasa politiknya masih kuat, sekalipun anaknya yang menjabat sekarang malah bikin tambah kontroversi. Ya kalau pejabat harusnya sudah siap di kritik.” Ujar Denis Tirtana selaku Ketua SPOT periode 2025.
Selain itu, dengan pembatasan-pembatasan seperti ini, hal tersebut tidak hanya merugikan bagi para seniman, tetapi juga untuk masyarakat, yang mana mereka memerlukan perspektif berbeda terhadap situasi sosial dan politik. Ketika pemerintah dan institusi publik berusaha menekan ujaran kritis, hal tersebut justru menciptakan ketakutan dan ketidakpuasan di masyarakat. Demokrasi itu seharusnya dapat memberikan ruang terbuka untuk dapat berdialog maupun berdebat, dimana kritik-kritik tersebut dapat didengar dan juga pujian dapat tersampaikan dengan benar ke masyarakat.
Lebih lanjut, pembatalan yang dilakukan pameran Lukisan di Galeri Nasional ini memberitahukan kepada kita kekhawatiran pemerintah terhadap dampak signifikan seni rupa. Jika ekspresi kritis terus ditekan, maka tidak dapat dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi itu sendiri bisa melemah. Masyarakat bisa menjadi apatis dan takut mengutarakan pendapat atau kritiknya karena takut akan terkena tindakan yang serupa.
“Kalau saya selaku pencinta seni sekaligus pegiat juga, apalagi di bidang seni visual, tentu saya ada kekhawatiran dan lebih memfilter lagi bahan seni ku untuk kedepannya setelah baca berita ini, tetapi sudah selayaknya seni itu sebagai wadah kritik berarti kritis, ya. Kalau memang keadaannya mendesak, saya sendiri tidak takut untuk mengkritik, terlepas dari konsekuensi akan di bungkam. Itu hak pribadinya kita masing masing.” Tambah Denis Tirtana.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua, khususnya pemerintah untuk memahami bahwa kritik, termasuk kritik melalui seni merupakan bagian dari proses untuk perbaikan diri. Kritik itu tidak boleh dibungkam, namun bisa dipandang sebagai refleksi atau umpan balik yang dapat digunakan untuk memperkuat pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Penulis: Atan
MUNGKIN KAMU SUKA
AKSI 'BULLYING' TIDAK MENANDAKAN SESEORANG ITU HEBAT
[LPM NASIONAL] Di kampus yang tenang, terselip cerita tak terungkap. Di tengahnya, seorang mahasiswa bernama Arief, ia juga seorang wartawan bersemangat, merasa terpanggil…
Darurat! Predator Kampus Yang Mengancam Ruang Aman Bagi Mahasiswa
Banyaknya berita tak sedap yang terus beredar di media menge LPM NASIONAL FISIP 1 tahun yang lalu
PENGUKUHAN LEMBAGA FISIP TANPA BEM DAN PMF
[LPM NASIONAL] Pada hari Selasa (02/04/2024) telah diadakan pengukuhan sekaligus sharing session antar lembaga yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik…