PERINGATAN 16 HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN MENINGKATNYA KASUS FEMISIDA DI INDONESIA

Setiap tahun, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan menjadi momen penting untuk mengingatkan dunia tentang kekerasan berbasis gender dan perjuangan panjang untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Namun, meski kesadaran global terus berkembang, kenyataannya kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida—pembunuhan perempuan karena gender mereka—masih menjadi masalah serius, khususnya di Indonesia.
Femisida di Indonesia, meskipun sering tidak dipandang sebagai isu yang memerlukan perhatian mendalam, semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari berbagai organisasi, seperti Komnas Perempuan, jumlah kasus femisida dan kekerasan berbasis gender lainnya terus naik. Pada tahun 2023 saja, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 300 kasus femisida yang dilaporkan sepanjang tahun. Banyak dari kasus ini terjadi dalam konteks hubungan domestik atau kekerasan yang berakar pada ketidaksetaraan gender yang mendalam.
Femisida seringkali merupakan puncak dari rangkaian panjang kekerasan fisik, psikologis, atau seksual yang dialami oleh korban. Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau hubungan pacaran sering kali merasa terperangkap oleh ketidakmampuan sistem hukum dan sosial untuk melindungi mereka. Ini dipicu oleh budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai objek kepemilikan, serta sistem hukum yang masih kurang responsif terhadap kebutuhan korban.
Kampanye #16HAKTP seharusnya menjadi momen refleksi untuk menilai sejauh mana upaya kita dalam memerangi femisida. Peringatan ini penting untuk menggugah kesadaran tentang fakta bahwa femisida bukanlah kejadian yang terisolasi, tetapi sebuah sistemik yang perlu perhatian serius. Dalam banyak kasus, para pelaku femisida adalah pasangan intim, suami, atau mantan pasangan yang merasa memiliki kontrol penuh atas kehidupan korban. Ini menunjukkan bahwa meskipun banyak yang telah berusaha mengubah narasi tentang kekerasan terhadap perempuan, banyak struktur sosial dan hukum yang masih mengabaikan hak perempuan untuk hidup aman dan bebas dari ancaman kekerasan.
Kasus femisida yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang yang seharusnya menjadi tempat aman—yaitu rumah. Masih banyak perempuan yang merasa tidak memiliki pilihan untuk keluar dari hubungan yang berbahaya karena ketergantungan ekonomi, stigma sosial, atau kurangnya dukungan dari keluarga dan komunitas.
Dalam konteks ini, penting untuk mengakui bahwa peningkatan kasus femisida bukan hanya hasil dari perilaku individu, tetapi juga cerminan dari kegagalan struktural dalam menanggapi kekerasan berbasis gender. Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan, banyak korban masih kesulitan mengakses keadilan karena kurangnya pemahaman aparat penegak hukum, ketidakpastian prosedur pelaporan, atau ketakutan akan stigma sosial. Oleh karena itu, selain memperkuat legislasi, kita juga membutuhkan reformasi dalam sistem penegakan hukum dan peran serta aktif masyarakat untuk melindungi perempuan dari kekerasan.
Kampanye #16HAKTP harus menjadi panggilan untuk bertindak lebih tegas dan terstruktur dalam melawan femisida. Kesadaran tentang adanya peningkatan angka femisida di Indonesia seharusnya mendorong kita untuk tidak hanya berhenti pada peringatan semata, tetapi untuk mengambil langkah konkret. Kampanye ini harus memperjuangkan perubahan dalam sistem sosial, pendidikan, dan hukum yang lebih berpihak kepada perempuan, agar mereka dapat hidup tanpa rasa takut. Perempuan harus diberi hak untuk merasa aman, dihargai, dan bebas dari kekerasan—baik itu di ruang publik maupun di ruang pribadi mereka.
Pada akhirnya, mengurangi dan menghapuskan femisida di Indonesia memerlukan komitmen yang lebih besar dari semua pihak. Dalam kampanye ini, kita harus kembali mengingatkan diri bahwa korban femisida bukan hanya sekadar angka atau statistik, tetapi adalah nyawa-nyawa perempuan yang seharusnya bisa hidup bebas dari kekerasan. Keadilan bagi perempuan bukanlah pilihan, tetapi hak yang harus ditegakkan.
Penulis: Ash Lynx
MUNGKIN KAMU SUKA
KULIAH KERJA NGINTIP (KKN)
LPM NASIONAL - Terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad)…
UKT TURUN, TAPI KANTONG MAHASISWA TETAP KOSONG: KAMPUS, MANA SISA UANG KAMI?
LPM NASIONAL FISIP 9 bulan yang lalu
“MEREKA MENYEBUTNYA MELATIH MENTAL”
LPM NASIONAL FISIP 11 bulan yang lalu