Mama's Son

Saat itu peperangan adalah sesuatu yang tampak tak memiliki akhir. Hari demi hari selalu diwarnai dengan para pejuang bangsa yang berguguran satu persatu, memaksa setiap keluarga yang ditinggalkan untuk melepaskan dengan ikhlas. Dan itu tak akan pernah menjadi suatu hal yang mudah untuk dilakukan.
Anak-anak lelaki dari masyarakat kelas bawah mulai dikerahkan sebagai tenaga bantuan selama perang, bergelut dengan semua terror dan rasa sakit penuh hormat, meskipun di usianya yang masih sangat belia. Setiap hari berlalu dengan ketidakpastian yang mencekam, tak ada yang tau apakah mereka masih bisa menatap langit biru di esok hari atau justru terlelap dalam tidur damai tanpa akhir.
Hari ini, penantian semua orang telah mencapai akhirnya. Untuk sesaat, hati setiap orang dipenuhi euphoria, ketika kabar kemenangan diterima sebagai milik mereka. Sejenak melupakan apa saja yang telah dikorbankan untuk kemenangan yang selalu didambakan. Para pejuang bangsa kembali ke tanah airnya, ke negeri tempat kelahiran dan pelukan hangat keluarga yang selalu dirindukan pada tiap detik yang mereka habiskan di medan tempur. Semua orang berkumpul di sepanjang jalan, menyambut mereka yang telah berjuang demi bangsa dengan sorakan dan pujian yang mengekspresikan rasa bangga dan bahagia atas kemenangan yang diperoleh.
Di tengah-tengah lautan manusia dengan raut bahagianya, seorang wanita paruh baya bergegas menyelinap diantara kerumunan dengan kekhawatiran dan rasa takut yang tergambar jelas dalam gurat wajahnya yang lelah. Ia bukannya tidak bahagia atas kemenangan yang diperoleh oleh bangsanya. Faktanya, ia bahagia dan tak dapat dipungkiri kabar kemenangan itu adalah satu-satunya hal yang mampu memberi sedikit rasa lega dalam hatinya yang tak pernah tenang. Namun, di sisi lain ia adalah seorang Ibu, seorang wanita janda yang tidak memiliki siapapun lagi sebagai keluarganya, selain anak lelakinya yang resmi menginjak usia 17 tahun hari ini. Permata berharganya, anak laki-laki sekaligus satu-satunya keluarga yang ia miliki itu termasuk dalam jajaran orang-orang yang berjuang demi kemenangan bangsanya. Ia bangga, tetapi ia juga takut. Ia takut jika matanya tak menangkap sosok anak lelakinya diantara jejeran para tentara yang berjalan tegap diantara orang-orang yang berkumpul menyambut mereka di sepanjang jalan yang mereka lalui. Ia takut jika ia justru mendapati anaknya berada diantara jajaran peti yang diangkut oleh beberapa orang di barisan paling belakang sana.
Matanya dengan jeli terus memperhatikan satu persatu wajah yang baru saja pulang membawa kemenangan di tangan mereka. Hatinya yang terus dihantui oleh rasa takut dan gelisah menjadi semakin tak tenang, ketika wajah anaknya tak kunjung tampak di antara mereka yang telah bertahan hidup.
“Anda adalah Ibu dari Johan?” Pencariannya terjeda ketika salah seorang tentara menghampirinya dengan raut wajah yang sulit untuk digambarkan. Wanita itu mengangguk. Hatinya dihantui oleh rasa hangat dan takut di saat yang bersamaan, ketika nama yang sangat dirindukannya itu disebut oleh orang yang berjuang bersama dengan putranya di medan perang.
“Saya Ibunya. Jika boleh tau, bagaimana kabar putra saya? Apakah dia baik-baik saja?” Wanita itu bertanya dengan rasa khawatir yang tak bisa disembunyikan dari nada suaranya. Matanya menatap penuh harap, berharap agar mulut tentara itu mengucapkan kabar bahagia yang bisa membebaskan hatinya dari rasa takut. Namun, tentara itu justru diam tanpa sepatah kata, mulutnya terkatup rapat. Wanita itu tak mendapati adanya senyum yang ia harapkan di wajah tentara itu, melainkan kerutan di dahi dan gurat penyesalan yang tak dapat disembunyikannya.
Wanita itu berdiri mematung di tempatnya berdiri dengan sebuah peti di depannya. Nafasnya seolah terhenti selama beberapa saat, ketika sosok yang selalu ia rindukan tiap malam dalam tidurnya kini berada di hadapannya, terbujur kaku di dalam peti dengan kulit yang lebih putih dari biasanya. Wajahnya tampak tenang. Untuk sesaat, wanita itu sempat mengira bahwa putranya saat ini hanya sedang terlelap karena rasa lelah dan dalam beberapa waktu ke depan, ia akan kembali membuka matanya dan memanggilnya dengan penuh kerinduan. Persis seperti dirinya yang merindukan putranya tanpa henti.
Ia jatuh terduduk. Matanya yang mulai dihiasi air mata terus terpaku pada sosok yang sudah tidak ia temui selama beberapa bulan. Tangisan dari orang-orang sekitar yang baru saja menyambut anggota keluarga mereka yang kembali tanpa nyawa tak mengusik fokusnya sedikitpun. Saat ini, seluruh fokusnya adalah milik anak yang tertidur lelap dalam peti itu, putranya, permatanya, dunianya. Ia tidak akan membiarkan apapun mengusik momen antara dirinya dan putranya.
Wanita itu mengulurkan tangannya yang bergetar, menyentuh lembut dahi putranya yang terbalut perban putih bernoda darah. Air matanya mengalir semakin deras. Langit hari ini tampak indah dengan warna birunya, tepat seperti yang selalu disukai oleh Johan. Tapi putranya sama sekali tidak bisa menyaksikannya, tidak hari ini dan tidak di waktu yang akan datang. Cuaca hari ini cerah dan suhunya hangat, tetapi kulit putranya terasa sedingin es di bawah sentuhan lembutnya.
Di tengah-tengah kesedihan yang menyiksa hatinya, wanita itu terus mengutuk dirinya. Jika saja ia memiliki kekuasaan dan kekayaan, mungkin saja peti ini bukanlah tempat putranya berada saat ini. Mungkin saja ia masih bisa melihat senyuman putranya, mendengar suaranya, dan menyaksikannya bergerak lincah dengan nafas yang terus berhembus sebagai tanda bahwa jantungnya masih berdetak. Ia mungkin akan hidup lebih baik, bertingkah nakal seperti anak remaja seusianya atau belajar dengan tekun untuk menggapai cita-citanya. Ia bisa menjadi dokter yang bisa menolong nyawa banyak orang, menjadi pemusik yang disenangi, atau menjadi guru seperti apa yang dicita-citakan oleh putranya. Ia mungkin masih bisa bertahan selama beberapa waktu ke depan, beranjak dewasa, memulai keluarga baru, dan menjadi seorang Ayah.
Namun semua gambaran ideal itu hanya bisa menjadi sekedar perandaian yang tak akan pernah menjadi nyata. Faktanya, ia hanyalah seorang wanita janda yang ditinggalkan oleh suaminya yang tidak bertanggungjawab. Dalam kesendirian tanpa ada siapapun yang membantunya, ia berjuang seorang diri demi hidupnya dan anaknya. Kemampuannya hanya sebatas mempertahankan hidupnya dan putranya. Ia tidak bisa menyediakan kehidupan yang lebih baik bagi putranya atau memberikan pendidikan yang bermutu untuk mendukung putranya mencapai impiannya sebagai guru. Ketika anak-anak muda mulai dikerahkan untuk ikut serta dalam peperangan, putranya mau tak mau harus menjadi salah satu diantaranya. Dan sebagai imbalan, sekantung koin emas akan berada dalam genggamannya.
Wanita itu tidak mengharapkan koin emas yang ia dapatkan dengan mengirimkan anaknya ke medan perang. Bagi wanita itu, koin-koin emas itu tidak ada apa-apanya dibandingkan tiap hembusan nafas milik anaknya. Ia lebih berharap untuk melihat anaknya tersenyum di bawah langit cerah dengan suhu kulit yang terasa lebih hangat, ketimbang menerima koin-koin emas yang harus dibayar dengan hidup anaknya. Jika saja ia memiliki kebebasan untuk memilih, wanita itu tak akan pernah menyerahkan putranya. Namun, sistem bukanlah sesuatu yang bisa dilawan oleh orang kecil sepertinya.
“Johanku sudah kembali. Apakah lukamu masih terasa sangat sakit atau kau tidak lagi merasakan apapun karena sedang tidur saat ini?” Suaranya bergetar ketika ia berbicara. Wanita itu tidak gila. Kesedihannya memang seolah berniat merampas kewarasannya, namun wanita itu masih cukup sadar untuk tau bahwa putranya tak akan menatapnya kembali dengan matanya yang indah atau membuka mulutnya untuk membalas ucapannya. Namun meski begitu, ia ingin berbincang dengan putra satu-satunya dan menciptakan momen terakhir bersama putranya, sebelum ia tak lagi bisa menatap wajah itu untuk seterusnya.
“Apakah kau merasa damai saat ini atau kau sedang bermimpi buruk? Jika iya, aku akan mengusir mimpi buruk itu dan mengantarmu pada tidur yang indah, kau bisa beristirahat dengan damai.” Tak ada jawaban apapun yang ia dapatkan, meski begitu wanita itu tetap menyanyikan lagu pengantar tidur untuk putranya. Itu adalah lagu pengantar tidur yang akan selalu dinyanyikannya untuk mengantar putranya dalam tidur yang lelap atau ketika putranya terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Lagu pengantar tidur, yang tidak akan lagi dinyanyikannya untuk putranya setelah hari ini.
Ketika nyanyiannya usai, wanita itu mendekatkan kepalanya, memberikan satu kecupan lembut di dahi anaknya yang dingin dan berbisik penuh rasa sakit di telinga putranya.
“Selamat ulang tahun dan selamat jalan, prajurit kecilku.”
Hari ini putranya beranjak dewasa, tapi tak bisa lebih dewasa dari saat ini. Selamanya ia hanya akan menginjak angka 17 tanpa bisa menyentuh 20. Wanita itu memandang kematian putranya sebagai kesalahannya, karena tak bisa menjadi orang tua yang cukup baik untuk memberikan kehidupan yang lebih baik kepada putranya. Tapi siapapun tau, itu bukan salahnya dan tak akan pernah menjadi kesalahannya. Kehidupan hanya sedang tak begitu baik padanya.
Penulis: Rein
MUNGKIN KAMU SUKA
SUKSES MENGGELAR HIMAP TALK, HIMAP FISIP MENGENALKAN BLUE ECONOMY: STRATEGI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pada Selasa, 26 November 2024 Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik (HIMAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad) berhasil menggelar kegiatan Himap Talk…
GERAKAN KEMANUSIAAN MAHASISWA KOTA PALU TURUN LANGSUNG MEMBERIKAN BANTUAN
Pada Tanggal (18/05/2024) Gerakan Kemanusiaan Mahasiswa Se Kota Palu (GKM) turun langsung ke lokasi untuk memberikan bantuan bagi korban bencana banjir dan tanah…
KOMUNITAS KEJAR MIMPI GOES TO SCHOOL : GENERASI SEHAT UNTUK MASA DEPAN
Komunitas Kejar Mimpi Palu by CIMB Niaga menyelenggarakan kegiatan Volunteering Day KM Goes to School dengan tema "Generasi Tumbuh Sehat" yang bertempat di…